
Sunnah Sunnah Nabi SAW







Shalat Tahajjud dan Witir
-
Daftar list
-
Amalan yang dicontohkan oleh Nabi SAW setelah bangun dari tidur.
-
Sunnah-sunnah dalam berwudhu
-
Shalat tahajjud dan witir
- Dilakukan pada waktu yang paling utama
- Jumlahnya sebelas rakaat
- Memulai shalat malam dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat yang ringan
- Membaca salah satu doa istiftah
- Memperpanjang waktu berdiri, waktu ruku’, dan waktu sujud, serta menyama-ratakan waktunya
- Mengikuti ajaran sunnah ketika membaca Al-Qur’an di dalam shalat malam
- Menyudahi dengan salam pada setiap dua rakaat sekali
- Membaca surah yang sudah ditentukan pada tiga rakaat yang terakhir
- Sesekali berqunut pada shalat witir
- Berdoa pada sepertiga malam yang akhir
- Mengucapkan subhanal-malikil-quddus sebanyak tiga kali dengan mengangkat suara lebih tinggi pada kali yang ketiga
- Membangunkan istri dan anggota keluarga untuk ikut shalat malam
- Memberi perhatian pada stamina tubuh agar tidak berpengaruh pada kekhusyukan
- Siapa yang terlewat shalat malamnya, maka ia bisa menggantinya di siang hari dengan menggenapkannya
Ada beberapa sunnah yang merupakan tuntunan dari Nabi -Shallallahu Alaihi wa Sallam- saat melakukan shalat tahajjud dan witir ini. Yaitu:
Jika ditanyakan, kapankah waktu yang paling utama tersebut?
Jawabannya adalah, sebagaimana telah diketahui secara umum oleh kaum muslimin, bahwa waktu shalat witir itu dimulai tepat setelah shalat isya selesai dilakukan, dan berakhir hingga datang waktu shubuh. Maka waktu shalat witir itu adalah waktu yang terbentang di antara shalat isya dengan shalat shubuh.
Dalilnya adalah: Hadits yang diriwayatkan dari bunda Aisyah –Radhiyallahu Anha-, ia berkata, “Biasanya Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- melakukan shalat malam di waktu-waktu antara setelah beliau mengerjakan shalat isya dan sebelum datang waktu shubuh. Beliau mengerjakan shalat tersebut sebanyak sepuluh rakaat, dengan menutup shalatnya setiap dua rakaat sekali, lalu mengakhirinya dengan shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari no.2031, dan Muslim no.736)
Jumlah inilah yang paling utama. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah –Radhiyallahu Anha- ia berkata, “Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam tidak pernah menambah shalat malamnya lebih dari sebelas rakaat, baik pada bulan Ramadhan ataupun waktu-waktu lainnya.” (HR. Bukhari no.1147, dan Muslim no.738)
Dalilnya, hadits yang diriwayatkan dari Aisyah Radhiyallahu Anha-, ia berkata, “Apabila Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- bangun dari tidur untuk shalat malam, maka beliau memulainya dengan melakukan shalat sunnah dua rakaat yang ringan.” (HR. Muslim no. 767)
1 > Disebutkan dalam kitab Shahih Muslim, sebuah hadits riwayat bunda Aisyah –Radhiyallahu Anha-, ia berkata, “Apabila Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam- mendirikan shalat malam, beliau membuka shalatnya dengan membaca doa, ‘Allahumma rabba jibraila wa mikaila wa israfila fathiras-samawati wal-ardhi alimalghaibi wasy-syahadati anta tahkumu baina ibadika fima kanu fihi yakhtalifun, ihdini limakh-tulifa fihi minal-haqqi bi idznika innaka tahdi man tasya`u ila shirathim-mustaqim (ya Allah, Tuhan Jibril Mikail dan Israfil, wahai Pencipta langit dan bumi, wahai Tuhan yang mengetahui hal-hal ghaib dan nyata, Engkau yang memutuskan perkara yang diperselisihkan di antara hambahambaMu, tunjukkanlah aku, dengan seizin-Mu, pada kebenaran dalam perkara yang mereka perselisihkan, sesungguhnya Engkau-lah yang menunjukkan jalan yang lurus bagi orang-orang yang Engkau kehendaki).’” (HR. Muslim no.770).
2 > Disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan shahih Muslim, sebuah hadits riwayat Ibnu Abbas –Radhiyallahu Anhuma- ia berkata, “Apabila Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam- melakukan shalat tahajjud di malam hari, beliau berdoa, ‘Allahumma lakal-hamdu anta nurus-samawati wal-ardh, wa lakal-hamdu anta qayyimus-samawati wal-ardh, wa lakal-hamdu anta rabbus-samawati wal-ardhi wa man fihinna, antalhaqqu, wa wa’dukal-haqqu, wa qaulukal-haqqu, wa liqaukal-haqqu, wal-jannatu haqqun, wan-naru haqqun, wan-nabiyyuna haqqun, wassa`atu haqqun, allahumma laka aslamtu, wa bika amantu, wa alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khashamtu, wa ilaika hakamtu, fagh-firli ma qaddamtu wama akkhartu wama asrartu wama a`lantu, anta ilahi, lailaha illa anta (ya Allah, segala puji bagi-Mu yang memberi cahaya di langit dan di bumi, segala puji bagi-Mu yang memelihara langit dan bumi, segala puji bagi-Mu yang mengatur langit dan bumi serta siapa saja yang berada di dalamnya. Engkaulah Yang Mahabenar, janji-Mu pasti benar, firman-Mu pasti benar, pertemuan dengan-Mu pasti benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, nabi kami itu benar adanya, hari kiamat itu benar adanya, ya Allah, kepadaMu lah aku berserah diri, kepada-Mu lah aku beriman, kepada-Mu lah aku bertawakkal, kepada-Mu lah aku bertaubat, kepada-Mu lah aku mengadu, dan kepada-Mu lah aku berhukum, maka ampunilah dosadosaku, baik yang telah lalu maupun yang baru-baru saja aku lakukan, baik yang tersembunyi maupun yang terlihat oleh orang lain, Engkau lah Tuhanku, tiada Tuhan melainkan Engkau).’” (HR. Bukhari no.7499, dan Muslim no.768)
1 > Membacanya dengan cara perlahan. Yakni, tidak terlalu cepat atau terburuburu.
2 > Menghentikan bacaan pada setiap ayat. Yakni, tidak langsung menyambungkannya dengan ayat kedua atau ketiga dan seterusnya tanpa berhenti, tetapi berhenti pada setiap ayat yang dibaca.
3 > Apabila membaca ayat yang terkait dengan tasbih (mensucikan Allah), maka hendaknya ia bertasbih. Apabila membaca ayat yang terkait dengan doa, maka hendaknya ia berdoa. Dan jika ia membaca ayat yang terkait dengan memohon perlindungan kepada Allah (taawudz), maka hendaknya ia berta’awudz (yakni mengucapkan a’udzubillah)
Dalil untuk sunnah-sunnah tersebut adalah: Hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah –Radhiyallahu Anhu-, ia berkata, “Pernah suatu malam aku melaksanakan shalat dengan bermakmum kepada Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam-. Pada shalat itu beliau memulai bacaan Al-Qur’annya (setelah Al-Fatihah) dengan surah Al-Baqarah. Aku bergumam di dalam hati, mungkin beliau akan ruku’ pada ayat yang keseratus. Namun ternyata tidak, beliau masih melanjutkan bacaannya. Lalu aku bergumam lagi di dalam hati, mungkin beliau akan menghabiskan surah Al-Baqarah itu pada satu rakaat ini. Namun ternyata tidak juga, beliau masih terus melanjutkannya. Aku bergumam di dalam hati, mungkin beliau akan ruku’ setelah ini. Tapi ternyata beliau mulai membaca awal surah An-Nisaa. Setelah selesai beliau melanjutkannya lagi dengan surah Ali Imran. Semua surah tersebut beliau baca dengan tartil (perlahan). Setiap kali beliau membaca ayat yang menyebutkan kemahasucian Allah, maka beliau bertasbih. Setiap kali membaca ayat yang berisikan permohonan, maka beliau berdoa. Dan setiap kali membaca ayat yang meminta perlindungan kepada Allah, maka beliau mengucapkan ta’awudz. Setelah semua surah itu beliau baca, barulah beliau ruku’, dengan mengucapkan, subhaana rabbiyal-azhim. Lamanya waktu ruku’ beliau hampir sama seperti lamanya waktu berdiri. Kemudian beliau melanjutkannya dengan mengucapkan, sami’allahu liman hamidah (i’tidal). Beliau berdiri i’tidal juga cukup lama, hampir sama seperti lamanya waktu ruku’ beliau. Setelah itu kemudian beliau bersujud, lalu mengucapkan dalam sujudnya, subhaana rabbiyal a’la. Lamanya waktu sujud beliau juga hampir sama seperti waktu beliau beri’tidal.” (HR. Muslim no.772)
Sebagaimana diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad –Rahimahullah- dalam kitab musnadnya, dari Ummu Salamah –Radhiyallahu Anha-, bahwasanya ia pernah ditanya tentang bacaan Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam-, lalu ia menjawab bahwa biasanya beliau memenggal setiap ayat yang dibacanya. Bismillahirrahmanirrahim, berhenti, al-hamdulillahi rabbil alamin, berhenti, ar-rahmanir-rahim, berhenti, maliki yaumiddin, dan seterusnya. (HR. Ahmad no.26583, Ad-Daruquthni no.118, ia mengatakan, “isnadnya shahih dan para perawinya terpercaya” Hadits ini juga dikategorikan sebagai hadits shahih oleh An-Nawawi pada kitab Al-Majmu 3/333)
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Umar –Radhiyallahu Anhuma- ia berkata, pernah suatu kali ada seorang lelaki bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah prosedurnya shalat malam?” Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallammenjawab, “Shalat malam itu dilakukan dua-dua. Apabila kemudian kamu khawatir akan datang waktu shubuh, maka tutuplah dengan shalat witir satu rakaat.” (HR. Bukhari no.990, dan Muslim no.749)
Yang dimaksud dengan (dua-dua) pada hadits tersebut adalah, perdua rakaat sekali, yakni menyudahinya dengan salam setiap dua rakaat, tidak menyambungkannya hingga empat rakaat.
Yaitu dengan membaca surah Al-A’la pada rakaat pertama, kemudian surah Al-Kafirun pada rakaat kedua, dan surah Al-Ikhlas pada rakaat ketiga. Itu saja, tidak ada surah lain
Dalilnya adalah: Hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab –Radhiyallahu Anhu- , ia berkata, “Biasanya Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- ketika shalat witir membaca sabbih-isma rabbikal-a’la (Al-A’la), qul yaa ayyuhalkafiruun (Al-Kafirun), dan qul huwa-llahu ahad (Al-Ikhlas).” (HR. Abu Dawud no.1423, An-Nasa’i no.1733, dan Ibnu Majah no.1171. Hadits ini dikategorikan sebagai hadits shahih oleh An-Nawawi dalam kitab AlKhulashah 1/556 dan Al-Albani dalam kitab Shahih An-Nasa’i 1/273)
Maksudnya berqunut adalah membaca doa qunut. Doa ini dibaca pada rakaat ketiga yang di dalamnya terdapat bacaan surat AlIkhlas
Doa qunut pada shalat witir ini hukumnya sunnah untuk dilakukan sesekali (yakni terkadang dibaca dan terkadang tidak), karena didasari keterangan yang shahih dari kalangan sahabat Nabi tentang hal itu. Akan tetapi dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –Rahimahullah- lebih memilih untuk sering tidak melakukannya daripada melakukannya.
Salah satu sunnah yang sebaiknya dilakukan pada waktu-waktu terakhir di malam hari adalah berdoa. Apabila sudah melakukan qunut, maka doa tersebut sudah cukup mewakili. Namun jika tidak melakukannya, maka hendaknya ia memanjatkan doa yang ia inginkan pada saat-saat tersebut, karena pada waktu itulah doa-doa dikabulkan, sebab ada saat di mana Allah –Subhanahu wa Ta’ala- turun ke langit dunia, dengan cara yang sesuai dengan keagungan-Nya.
Sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebuah riwayat dari Abu Hurairah –Radhiyallahu Anhu- bahwasanya Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- pernah bersabda, “Ketika sudah lewat tengah malam, Tuhan kalian turun ke langit dunia pada setiap malamnya, lalu berfirman, ‘Siapapun yang berdoa kepada-Ku, maka Aku akan kabulkan doanya. Siapapun yang meminta sesuatu kepada-Ku, maka akan Aku berikan permintaannya. Dan siapapun yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni dosanya.’” (HR. Bukhari no.1145, dan Muslim no.758)
Dalilnya adalah: Hadits yang diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab –Radhiyallahu Anhu- , ia berkata, “Biasanya Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- ketika shalat witir membaca 'sabbihisma rabbikal-a’la' (Al-A’la), 'qul yaa ayyuhal-kafiruun' (Al-Kafirun), dan 'qul huwa-llahu ahad' (Al-Ikhlas). Apabila beliau telah selesai dan mengucapkan salam, beliau membaca subhanal-malikil-quddus sebanyak tiga kali.” (HR. An-Nasa’i no.1702), dan dikategorikan sebagai hadits shahih oleh An-Nawawi dan Al-Albani sebagaimana telah disampaikan sebelumnya.
Seorang suami disunnahkan untuk membangunkan istrinya ketika hendak melakukan shalat malam. Begitu pun dengan seorang istri yang terbangun terlebih dahulu, ia disunnahkan untuk membangunkan suaminya untuk melaksanakan shalat malam. Termasuk juga keluarga mereka. Anjuran ini masuk dalam koridor saling tolong menolong dalam kebaikan.
Dalilnya adalah: Hadits yang diriwayatkan dari bunda Aisyah –Radhiyallahu Anha- ia berkata, “Biasanya Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam- melakukan shalat tahajjudnya seorang diri pada setiap malamnya, saat itu aku berada di tengahtengah antara beliau dengan kiblat. Lalu apabila beliau hendak menutup shalatnya dengan witir, barulah beliau membangunkan aku. Dan aku pun terbangun untuk menutup malam dengan shalat witir.” (HR. Bukhari no.512, dan Muslim no.512)
Apabila letih berdiri, maka sebaiknya shalat malam dilakukan dengan cara duduk Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Anas –Radhiyallahu Anhu- ia berkata bahwasanya pernah suatu ketika Nabi -Shallallahu Alaihi wa Sallam masuk ke dalam masjid, lalu beliau melihat ada dua utas tali yang terbentang di antara dua tiang, beliau pun bertanya, “Tali apa ini?” para sahabat yang berada di sana menjawab, “Tali itu milik Zainab yang ia bentangkan untuk menjaga shalatnya. Apabila ia merasa letih atau malas, maka ia akan berpegangan pada tali itu.” Lalu Nabi -Shallallahu Alaihi wa Sallam- pun berkata, “Lepaskanlah tali ini. Jika salah seorang di antara kalian mendirikan shalat, maka shalatlah dengan penuh semangat. Apabila sudah merasa letih atau malas, hendaknya ia melakukan shalatnya dalam keadaan duduk.” (HR. Bukhari no.1150, dan Muslim no.784)
Apabila sedang mengantuk, maka tidurlah terlebih dahulu, agar ia kembali bersemangat saat sudah bangun dari tidur dan kembali melaksanakan shalatnya setelah itu.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari bunda Aisyah –Radhiyallahu Anha-, bahwasanya Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam- pernah bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian merasa kantuk ketika shalat, maka tidurlah terlebih dahulu hingga hilang rasa kantuknya. Sebab jika ia terus melanjutkan shalatnya saat mengantuk, maka bisa jadi saat ia ingin beristighfar namun yang terucap adalah makian bagi dirinya sendiri.” (HR. Bukhari no.212, dan Muslim no.786)
Begitu pula jika seseorang mengantuk atau semacamnya ketika ia sedang membaca Al-Qur’an di malam hari, hendaknya ia merebahkan tubuhnya terlebih dahulu agar semangatnya kembali lagi seperti semula.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah –Radhiyallahu Anhu-, bahwasanya Rasulullah –Shallallahu Alaihi wa Sallam- pernah bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian bangun di malam hari, lalu ia membaca Al-Qur’an dengan suara yang mulai tidak jelas hingga ia tidak sadar apa yang ia ucapkan, maka hendaknya ia merebahkan tubuhnya terlebih dahulu.” (HR. Muslim no.787)
Apabila seseorang sudah terbiasa melakukan shalat witir tiga rakaat, lalu ia terlelap dalam tidurnya hingga melewatkan shalat witirnya, atau ia dalam keadaan sakit hingga tidak mampu melakukan shalat witir di malam itu, maka ia boleh mengganti shalat witirnya itu di siang hari sebanyak empat rakaat.
Begitu pun jika seseorang terbiasa melakukan shalat witir sebanyak lima rakaat, lalu ia tertidur atau sakit, maka ia boleh mengganti shalat witirnya itu di siang hari sebanyak enam rakaat. Begitu seterusnya.
Hal ini dicontohkan oleh Nabi, yang terbiasa melakukan shalat witir sebanyak sebelas rakaat. Disebutkan dalam sebuah riwayat dari bunda Aisyah –Radhiyallahu Anha- ia berkata, “Apabila beliau (Nabi –Shallallahu Alaihi wa Sallam-) tertidur di malam hari atau jatuh sakit hingga melewatkan shalat malamnya, maka beliau selalu menggantinya di siang hari sebanyak dua belas rakaat.” (HR. Muslim no. 746)